Peringatan Hari Kebebasan Pers dibubarkan, AJI Turut Kecewa

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta diminta memindahkan kantornya setelah polisi membubarkan peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di kantor itu.
“Semalam, kami mendapat informasi bahwa pemilik kontrakan meminta kami pindah,” kata Anang Zakaria, ketua AJI Yogyakarta kepada BBC Indonesia pada Rabu (04/05) siang.

Menurut pernyataan pers dari AJI Indonesia, acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada Selasa (03/05) dibubarkan polisi karena sejumlah kelompok masyarakat tidak setuju dengan rencana pemutaran film dokumenter "Pulau Buru Tanah Air Beta".

Pembubaran ini menambah angka pelanggaran kebebasan berekspresi yang meningkat signifikan di tahun 2016, menurut Safenet.

Anang mengklaim bahwa polisi mengintimidasi pengurus RT, RW, serta pemilik kontrakan di Jl. Pakel Baru UH 6/1124 Umbulharjo supaya tidak mengizinkan AJI Yogyakarta tinggal di situ.

“Karena polisi tidak punya cukup alasan untuk membubarkan acara itu, mereka berusaha membenturkan kami dengan warga,” kata Anang.

Acara peringatan Hari Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD) dihadiri seratusan jurnalis dan aktivis gerakan masyarakat sipil di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Acara itu dipaksa bubar oleh polisi setelah ada tekanan dari massa yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra-putri TNI Polri (FKPPI).

Berdasarkan pernyataan pers dari AJI Indonesia, polisi dari kepolisian sektor (Polsek) Umbulharjo dan kepolisian resor kota (Polresta) Yogyakarta mendatangi peringatan WPFD di kantor AJI Yogyakarta di Jl. Pakel Baru UH 6/1124 Umbulharjo pada Selasa sore.

Mereka mempermasalahkan izin penyelenggaraan acara.

Padahal, AJI Yogyakarta telah secara resmi mengundang Kapolda DIY, Brigjen Polisi Prasta Wahyu Hidayat dan Kapolresta Yogyakarta, Prihartono Eling Lelakon.

Langkah polisi mempertanyakan hal perizinan itu adalah pintu masuk untuk mempersoalan rencana pemutaran film "Pulau Buru Tanah Air Beta," karya Rahung Nasution dalam acara itu.

Pihak kepolisian meminta pemutaran film tersebut dibatalkan karena ada sejumlah kelompok masyarakat yang tidak setuju.

Tak lama kemudian, sekitar 20 massa yang mengatasnamakan FKPPI Yogyakarta mendatangi lokasi acara.

Mereka meneriaki hadirin agar membubarkan diri dengan melontarkan tuduhan, acara itu disusupi kelompok partai terlarang. Saat kondisi ricuh, satu truk yang mengangkut polisi bersenjata lengkap mendekati lokasi acara.

Di sela-sela kondisi yang semakin panas, Kompol Sigit Haryadi dari Kapolresta Yogyakarta meminta peserta peringatan WPFD 2016 untuk meninggalkan acara.

"Kawan-kawan tamu yang diundang, silakan pergi meninggalkan tempat. Saya tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi setelah ini," kata Sigit.

"Kegiatan ini harus dibubarkan," tegasnya.

Karena perdebatan mengarah ke situasi yang semakin emosional, Anang Zakaria meminta pihak kepolisian secara resmi membubarkan acara.
Kebebasan Pers

Sehari setelah pembubaran, Anang mengatakan kepada BBC Indonesia bahwa dia menyayangkan polisi tunduk kepada ormas alih-alih melindungi hak kebebasan berpendapat dan berserikat warga negara yang dilindungi undang-undang.

“Hari Kebebasan Pers Sedunia, yang harusnya untuk merayakan kebebasan secara reflektif begitu, tapi ternyata tercoreng oleh tindakan kepolisian,” ujarnya.

Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati setiap tanggal 3 Mei.
Peringatan ini dicanangkan Majelis Umum PBB pada tahun 1993 sebagai kesempatan untuk merayakan prinsip fundamental kebebasan pers, mengukur kondisi kebebasan pers di seluruh dunia, mempertahankan media dari serangan terhadap independensinya, serta menghormati jurnalis yang kehilangan nyawa dalam menjalankan tugas.

"Dengan peristiwa semacam ini, tidak ada keraguan bagi AJI untuk kembali menempatkan polisi sebagai musuh utama kebebasan pers di Indonesia," tukas Anang.

Secara terpisah, Kabid Humas Polda Yogyakarta AKBP Any Pudjiastuti membenarkan bahwa polisi membubarkan acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di kantor AJI, namun membantah telah menghalangi kebebasan berekspresi.

“Kita tidak melarang, tapi kita memediasi antara warga yang menolak dengan pelaksana. Kalau sudah ada masyarakat sekitar menolak ... ini merupakan potensi konflik. Mohon dipahami bahwa tugas polisi adalah mengamankan warganya,” kata Any Pudjiastuti.

Ketika ditanya kenapa polisi tidak mengamankan hak berserikat peserta acara dari provokasi ormas, Any menjawab, “Dengan kegiatan itu tidak dilaksanakan kan kami melindungi AJI ... nah kalau ini dilaksanakan, warga sudah jelas-jelas menolak kemudian terus menyerang. Ayo gimana?”

Any juga membantah tudingan bahwa polisi mengintimidasi RT dan warga sekitar.

“Oh enggak ada ... polisi tetap bertindak profesional, proporsional, dan terukur,” kata Any.
Peningkatan signifikan

Pembubaran dan pelarangan pemutaran film ini ialah kejadian ke-32 pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia sejak 2015, menurut Safenet.

Berdasarkan catatan jaringan pemantau kebebasan berekspresi daring itu, terdapat "peningkatan signifikan" pelanggaran kebebasan berekspresi di tahun 2016.

“Sekarang rata-rata satu bulan terjadi empat sampai lima kali pelanggaran kebebasan berekspresi dalam bentuk pelarangan dan intimidasi. Beda sekali dengan tahun sebelumnya, yang tingkatnya lebih rendah,” ujar Koordinator regional Safenet, Damar Juniarto.

Laporan hasil pantauan pelanggaran kebebasan berekspresi itu dipublikasikan dilaman resmi Safenet.

Berdasarkan laporan tersebut, pelanggaran kebebasan berekspresi paling sering terjadi pada kegiatan diskusi/lokakarya/seminar dan pemutaran film. Tudingan yang paling sering dijadikan alasan adalah komunisme, yang umum ditujukan kepada acara yang membahas peristiwa kekerasan 1965.
Hal ini sejatinya berlawanan dengan inisiatif pemerintah, yang telah menyatakan akan memulai rekonsiliasi bagi kasus pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan, pemerintah untuk pertama kalinya mengadakan simposium tentang kasus 1965 pada April lalu.

Laporan itu juga mengungkap bahwa polisi adalah pelaku pelanggaran paling sering, disusul oleh Ormas penganut kekerasan misalnya FPI, FUI, GPK.

“Jelas antara maunya presiden, yang ingin menuntaskan atau tidak ingin ada pelarangan itu justru dilanggar oleh aparat kepolisian,” kata Damar.

Damar berpendapat, polisi menganut persepsi penanganan konflik yang keliru dalam menangani peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi.

“Potensi konflik itu datangnya dari mana? Kan yang harus diselesaikan adalah orang yang datang ingin membuat konflik, bukan penyelenggara yang jelas-jelas haknya itu dilindungi undang-undang dasar,” ujarnya.



Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment