KPK Melarang Farmasi Memberikan Sponsorship Ke Dokter Secara Langsung


Jakarta-Perusahaan farmasi bakal dilarang memberikan sponsorship kepada dokter secara pribadi untuk mengikuti seminar atau kegiatan serupa lainnya. Jum'at (12/02/2016)


Pemberian sponsorship langsung kepada dokter dikhawatirkan menjadi sarana gratifikasi dan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest), karena dokter yang mendapat sponsorship akan terdorong mempromosikan produk perusahaan farmasi tertentu kepada para pasiennya.

Sebelum ini, pemberian sponsorship langsung kepada dokter merupakan hal yang lazim. Larangan pemberian sponsorship langsung kepada dokter oleh perusahaan farmasi merupakan salah satu kesepakatan antara Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam pertemuan yang difasilitasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa (02/02/2016)

Kesepakatan tersebut bakal diikuti revisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kemenkes yang ditargetkan terbit sepekan mendatang.

“Perbedaan paling substansial yang dihasilkan pertemuan ini adalah tidak adanya lagi pemberian sponsorship secara individu” kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dalam konferensi pers usai pertemuan tersebut.

Pahala menjelaskan, sponsorship dari perusahaan farmasi biasanya ditujukan ke individu dokter. Praktik ini telah berlangsung selama puluhan tahun.

“Pengaturan ini dilakukan karena pemberian sponsorship dari perusahaan farmasi langsung kepada dokter rawan terkategori gratifikasi" kata dia.

Menurut Pahala, KPK khawatir pemberian sponsorship menimbulkan konflik kepentingan.
“Para dokter yang mendapat sponsorship secara pribadi akan terdorong mempromosikan produk-produk perusahaan farmasi tertentu kepada pasiennya. Kami khawatir terjadi conflict of interest karena sulit dibedakan antara pemberian dengan pamrih dan tanpa pamrih” papar dia.
Pahala mengakui, KPK tidak dapat mencegah pemberian sponsorship dari perusahaan farmasi kepada para dokter. Soalnya, setiap dokter wajib mengikuti seminar ilmiah untuk memenuhi kredit poin mereka yang jumlahnya 250 poin dalam lima tahun agar gelar mereka tidak dicabut.

Mengikuti sebuah seminar memiliki kredit rata-rata lima poin, sehingga setiap dokter harus mengikuti setidaknya 10 acara seminar setiap tahunnya.

“Dengan biaya Rp 3 juta sekali seminar, berarti setiap dokter mesti mengalokasikan anggaran Rp 30 juta per tahun" jelas dia lebih lanjut.

Padahal, kata Pahala Nainggolan menambahkan, pemerintah tidak mampu membiayai seluruh dokter yang jumlahnya 126 ribu orang untuk mengikuti seminar ilmiah. Jika seorang dokter membutuhkan Rp 30 juta per tahun atau Rp 150 juta per lima tahun, berarti 126 ribu dokter memerlukan anggaran Rp 3,78 triliun per tahun atau Rp 18,9 triliun setiap lima tahun.

“Sebesar itulah biaya yang dibutuhkan para dokter untuk continuing professional education. Makanya kalau sponsorship datang tidak mungkin ditolak. Tapi kami dorong Kemenkes agar jangan sampai gap-nya terlalu besar" tegas dia.

Pahala menambahkan, mekanisme pemberian sponsorship dari perusahaan farmasi kepada dokter akan diatur lebih detail melalui regulasi yang diterbitkan Kemenkes.

“Melalui regulasi baru tersebut, diharapkan tidak ada lagi pemberian sponsorship oleh perusahaan farmasi yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi dan menimbulkan konflik kepentingan” tutup dia.
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment